Sabtu, 28 November 2009

Gua

Ada dua orang pemuda tampak berdiskusi di sebuah mulut gua. Sesekali, mereka memandang ke arah dalam gua yang begitu gelap. Gelap sekali! Hingga, tak satu pun benda yang tampak dari luar. Hanya irama suara serangga yang saling bersahutan.

Guru menyuruh kita masuk ke sana. Menurutmu, gimana? Siap?” ucap seorang pemuda yang membawa tas besar. Tampaknya, ia begitu siap dengan berbagai perbekalan.

Menurut petunjuk guru, gua ini bukan sekadar gelap. Tapi, panjang dan banyak stalagnit, kelelawar, dan serangga,” sahut pemuda yang hanya membawa tas kecil. Orang ini seperti punya kesiapan lain di luar perbekalan alat. “Baiklah, mari kita masuk!” ajaknya sesaat kemudian.

Tidak menyangka dengan ajakan spontan itu, pemuda bertas besar pun gagap menyiapkan senter. Ia masuk gua beberapa langkah di belakang pemuda bertas kecil. “Aneh!” ucapnya kemudian. Ia heran dengan rekannya yang masuk tanpa penerangan apa pun.

Dari mulai beriringan, perjalanan keduanya mulai berjarak. Pemuda bertas besar berjalan sangat lambat. Ia begitu asyik menyaksikan keindahan isi gua melalui senternya: kumpulan stalagnit yang terlihat berkilau karena tetesan air jernih, panorama gua yang membentuk aneka ragam bentukan unik, dan berbagai warna-warni serangga yang berterbangan karena gangguan cahaya. “Aih, indahnya!” gumamnya tak tertahan.

Keasyikan itu menghilangkannya dari sebuah kesadaran. Bahwa ia harus melewati gua itu dengan selamat dan tepat waktu. Bahkan ia tidak lagi tahu sudah di mana rekan seperjalanannya. Ia terus berpindah dari satu panorama ke panorama lain, dari satu keindahan ke keindahan lain.

Di ujung gua, sang guru menanyakan rahasia pemuda bertas kecil yang bisa jauh lebih dulu tiba. “Guru…,” ucap sang pemuda begitu tenang. “…dalam gelap, aku tidak lagi mau mengandalkan mata zhahir. Mata batinkulah yang kuandalkan. Dari situ, aku bisa merasakan bimbingan hembusan angin ujung gua, kelembaban cabang jalan gua yang tak berujung, batu besar, dan desis ular yang tak mau diganggu,” jelas sang pemuda begitu meyakinkan.


banyak “gua” dalam hidup ini. Gua ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Gua di saat gadis atau lajang terus-menerus tertinggal peluang berjodoh. Gua di saat orang alim menjadi sulit dipercaya. Gua ketika bencana begitu buta. Dan, berbagai lain yang kadang dalam gelapnya menyimpan seribu satu keindahan yang membuai.

Sebagian kita, suka atau tidak, harus menempuh rute jalannya yang gelap, lembab, dan penuh jebakan. Sayangnya, tidak semua kita mampu menyiapkan bekal secara pas. Kita kadang terjebak dengan kelengkapan alat. Dan, melupakan bekalan lain yang jauh lebih jitu dan berdaya guna: kejernihan mata hati

Mata hatilah yang mampu menembus pandangan di saat “gelap”. Mata hatilah yang bisa membedakan antara angin tuntunan dengan yang tipuan. Kejernihannya pula yang bisa memantulkan yang sejati.

Sabtu, 21 November 2009

Renungan...

Tadi pagi pas buka email..... ada yg baru masuk, isinya begini.....

JANGAN MENUNGGU

JANGAN MENUNGGU SENYUMAN……BARU MAU BERBUAT BAIK
JANGAN MENUNGGU MENCINTAI…BARU MAU MENCINTAI
JANGAN MENUNGGU KESEPIAN DATANG…BARU MAU MENGHARGAI PERSAHABATAN
JANGAN MENUNGGU MENDAPATKAN BANYAK…BARU MAU BERBAGI
JANGAN MENUNGGU KEGAGALAN DATANG…BARU INGAT NASEHAT
JANGAN MENUNGGU KESULITAN MUNCUL…BARU MAU PERCAYA DENGAN DOA
JANGAN MENUNGGU DATANGNYA KESEMPATAN.…BARU MAU MELAYANI
JANGAN MENUNGGU ORANG LAIN TERLUKA…BARU MAU MEMINTA MAAF
JANGAN MENUNGGU
KARENA KITA TAK AKAN PERNAH TAHU BERAPA LAMA WAKTU YANG MASIH KITA MILIKI

Ada seorang gadis buta yang membenci dirinya sendiri karena kebutaannya, tidak hanya terhadap dirinya sendiri tetapi juga membenci semua orang kecuali Kekasihnya yang selalu ada disampingnya untuk menemani dan menghiburnya.

Gadis itu berkata akan menikahi Kekasihnya jika dia bisa melihat dunia.
Suatu hari ada sesorang yang mendonorkan sepasang mata kepadanya sehingga dia bisa melihat semua hal, termasuk melihat Kekasihnya.
Kekasihnya bertanya: “Sekarang kamu bisa melihat dunia, apakah kamu mau menikah denganku?”
Gadis itu terguncang saat melihat bahwa Kekasihnya ternyata buta, dia menolak untuk menikah dengannya.
Kekasihnya pergi dengan air mata mengalir dan kemudian meninggalkan sepucuk surat yang sudah ditulis sebelumnya kepada gadis itu,
“Sayangku, tolong jaga baik-baik mata saya yang sudah saya donorkan untukmu”
Kisah di atas memperlihatkan Bagaimana pikiran manusia berubah saat status dalam hidupnya berubah, hanya sedikit orang yang ingat bagaimana keadaan hidup sebelumnya dan lebih sedikit lagi yang ingat terhadap siapa harus berterima kasih karena telah menyertai dan menopang bahkan di saat yang paling menyakitkan.

Setelah ku baca dan ku resapi... manusia selalu tidak bisa menerima apa adanya...
sedih banget.... tp kalo aq diposisinya bagaimana ya????
harus lebih introspeksi diri lagi... Ya Allah engkau yg mempunyai diri ini, dan hanya kepada engkaulah diri ini kembali kepada-MU...

Kamis, 19 November 2009

Liburan di Pantai


Beberapa hari yang lalu, diajakin liburan ke pantai maroon.... Walopun pantainya kotor, tp lumayan lah bisa bermain air n foto-foto (hi hi hi foto nasis). Ternyata disana ruame banget, maklum hari minggu pada liburan setelah capek seminggu bekerja jadi pada refresing.
( Hi hi hi Narsis yah....)

Asik juga di pantai, liat air laut yang begitu tenangnya dari jauh... HHmmmm, merasakan s
ejuknya udara pantai, belum terkontaminasi polusi. Walopun tidak serame Kota Jakarta dan Surabaya, Semarang udah padat banget sekarang.


Nie foto bareng pas di pantai maroon tempo hari